Hukum Wanita Bekerja Mencari Nafkah - Boleh, Sunnah, atau Haram

Hukum Wanita Bekerja Mencari Nafkah - Boleh, Sunnah, atau Haram - Sahabat Muslimah Cantik, Apa kabar? semoga selalu dalam lindungan Allah Swt. Ohya, apakah anda seorang pekerja? Pekerja dalam arti bekerja untuk memenuhi kebutuhkan rumah tangga? Kalau boleh tahu anda bekerja di mana dan sebagai apa? Jika di rumah, mungkin tidak ada masalah, tapi bagaimana jika anda bekerja di luar rumah? kantor misalnya. Anda pasti bertanya-tanya, bagaimana hukum wanita bekerja mencari nafkah? Boleh, sunnah, atau haram?

Nah, kali ini kami ingin berbagi sebuah artikel yang ditulis oleh Nur Fitri Fatimah dalam blog muslimah.or.id dengan beberapa perubahan. Siapa tahu, anda pas tidak membuka situs itu, dan kebetulan menemukannya di sini. Semoga menambah kemanfaatan tulisan tersebut. Hukum Wanita Bekerja Mencari Nafkah

Hukum Wanita Bekerja Mencari Nafkah - Boleh, Sunnah, atau Haram?

hukum muslimah bekerja mencari nafkah

Kita tahu, Islam mengatur semua hal, bahkan hal kecil sekalipun, apalagi soal harkat dan martabat wanita. Dalam Islam, wanita sangat dimuliakan. Sebelum datangnya Islam, wanita diperlakukan semena-mena. Pada masa jahiliyah, bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena diapandang bahwa wanita hanya akan menyusahkan. Dalam al-Qur'an sudah dijelaskan, yang artinya:“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” [Q.s At-Takwir: 8-9]

Dalam masyarakat Yunani, wanita dipandang sebagai barang yang dapat diperjual- belikan. Dalam masyarakat Hindu, bahkan wanita disamakan dengan makhluk jelata yang setingkat dengan kasta hewan. Na’udzubillaahi min dzaalik.

Wanita Dimuliakan dalam Islam

Benar bahwa Islam datang untuk menempatkan kedudukan wanita pada posisi yang layak, memberikan hak-haknya dengan sempurna tanpa dikurangi sedikitpun. Islam memuliakan kedudukan kaum wanita, baik sebagai ibu, sebagai anak atau saudara perempuan, juga sebagai istri. Pada poin yang terakhir ini, yaitu sebagai istri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan seorang suami untuk menafkahi istrinya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dari segi makanan, pakaian, dan sebagainya. Seorang istri berhak mendapatkan apa-apa yang ia butuhkan dengan cara meminta kepada suaminya dengan cara yang ma’ruf.

Sebuah hadis menyatakan: Dari ‘Aisyah  radhiyallahu ‘anha, dia menuturkan bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Ia tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa-apa yang aku ambil darinya dengan sembunyi-sembunyi“ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ambillah  harta yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf (baik)” (HR. Al Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5324), Kitab “an-Nafaqaat”, Bab “Idzaa lam Yunfiqir Rajulu”; Muslim dalam Shahih-nya (no. 1714), Kitab “al-Aqdhiyah”, Bab “Qadhiyah Hind”, dari ‘Aisyah)

Sayangnya, hak wanita di zaman sekarang ini seringkali “dipaksakan” oleh sebagian kalangan. Beberapa di antaranya yang menamakan diri mereka sebagai feminis (yang katanya memperjuangkan hak wanita), mereka berpendapat bahwa wanita harus sejajar dengan laki-laki, wanita tidak boleh dikekang, dan sebagainya. Padahal hal-hal tersebut malah membuat wanita kehilangan kemuliaannya.

Wanita berbeda dengan laki-laki dalam hal-hal tertentu, sehingga tidak akan bisa seorang wanita bertindak seperti laki-laki, bebas keluar rumah dan eksis di ranah publik. Sebagai contoh perbedaan laki-laki dan wanita (yang akan berpengaruh dalam pekerjaan yang boleh untuk wanita dan yang tidak) adalah perbedaan fisik. Ini yang pertama. Laki-laki mempunyai fisik yang lebih kuat sehingga mampu menerima tantangan yang keras untuk bekerja di luar rumah, sedangkan wanita dengan kelemah lembutannya diciptakan untuk tetap berada di rumah, mengurusi rumah dan anak-anak mereka. Kedua, perbedaan hormon. Ketiga, perbedaan kondisi fisik dan psikis, di antaranya keadaan wanita yang mudah tersinggung, temperamental, apalagi ketika masa haidh. Keempat, perbedaan susunan otak pria dan wanita. Otak laki-laki jauh lebih unggul daripada otak wanita, sehingga lebih cocok bila laki-laki lebih banyak berada di ranah publik.

Namun, Islam agama yang sempurna tidaklah mengungkung para wanita dan sama sekali tidak membolehkannya keluar rumah. Adakalanya wanita dibutuhkan kehadirannya di luar. Atau mungkin mereka membutuhkan sesuatu yang harus didapat dengan cara keluar dari rumahnya.

Bagaimana Aturan Islam Bila Wanita Harus Keluar Rumah?

Jika wanita keluar rumah untuk bekerja, maka hal-hal berikut yang mesti diperhatikan:
  • Mendapatkan izin dari walinya

    Wali adalah kerabat seorang wanita yang mencakup sisi nasabiyah (garis keturunan, seperti dalam An Nuur:31), sisi sababiyah (tali pernikahan, yaitu suami), sisi ulul arham (kerabat jauh, yaitu saudara laki-laki seibu dan paman kandung dari pihak ibu serta keturunan laki-laki dari keduanya), dan sisi pemimpin (yaitu hakim dalam pernikahan atau yang mempunyai wewenang seperti hakim). Jika wanita tersebut sudah menikah, maka harus mendapat izin dari suaminya.
  • Berpakaian secara syar’i

    Syarat pakaian syar’i yaitu menutup seluruh tubuh selain bagian yang dikecualikan (wajah dan telapak tangan, -ed), tebal dan tidak transparan, longgar dan tidak ketat, tidak berwarna mencolok (yang menggoda), dan tidak memakai wewangian. Untuk soal pakaian kerja, ada beberapa contohnya di blog ini: Anda bisa membaca Memilih warna Busana Kerja dan Aneka Model Blus Batik 2014 yang barangkali cocok untuk busana kerja anda.
  • Aman dari fitnah

    Yang dimaksud aman dari fitnah adalah wanita tersebut sejak menginjakkan kaki keluar rumah sampai kembali lagi ke rumah, mereka terjaga agamanya, kehormatannya, serta kesucian dirinya.Untuk menjaga hal-hal tersebut, Islam memerintahkan wanita yang keluar rumah untuk menghindari khalwat (berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram, tanpa ditemani mahramnya), ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita tanpa dipisahkan oleh tabir), menjaga sikap dan tutur kata (tidak melembutkan suara, menundukkan pandangan, serta berjalan dengan sewajarnya, tidak berlenggak-lenggok).
  • Adanya mahram ketika melakukan safar
    Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya.” [HR. Bukhari dalan Shahihnya (no. 1862), Kitab “Jazaa-ush Shaid”, Bab “Hajjun Nisaa’”; Muslim (no. 1341), Kitab “al-Hajj”, Bab “Safarul Mar-ah ma’a Mahramin ilal hajji wa Ghairihi”, dari Ibnu ‘Abbas]
Lalu pertanyaannya, pekerjaan apa yang cocok bagi wanita? Berikut adalah jawabannya.

Ketika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka wanita pun boleh keluar rumah bahkan untuk bekerja. Namun hendaknya dipahami lagi, jenis-jenis pekerjaan seperti apa yang boleh dilakukan oleh wanita, sesuai dengan aturan Islam.

Beberapa pekerjaan yang diperbolehkan bagi wanita, selama syarat-syarat di atas terpenuhi, diantaranya adalah:
  • Dokter, perawat, bidan, dan pekerjaan di bidang pelayanan medis lainnya, misalnya bekam, apoteker, pekerja laboratorium.
    Dokter wanita menangani pasien wanita, anak-anak, dan juga lelaki dewasa. Untuk menangani lelaki dewasa, maka syaratnya adalah dalam keadaan darurat, misalnya saat peperangan, di mana laki-laki lain sibuk berperang, dan juga ketika dokter spesialis laki-laki tidak ditemui di negeri tersebut.Salah satu dalil yang membolehkannya adalah, dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, dia berkata: “Dahulu, kami ikut bersama Nabi. Kami memberi minum dan mengobati yang terluka, serta memulangkan jasad (kaum muslimin) yang tewas ke Madinah.” [Al-Bukhari dalam Shahihnya (no 2882), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Mudaawatun Nisaa’ al-Jarhaa fil Ghazwi”]Dalil lainnya adalah, dari Anas, dia berkata: “Dahulu, apabila Rasulullah pergi berperang, beliau membawa Ummu Sulaim dan beberapa orang wanita Anshar bersamanya. Mereka menuangkan air dan mengobati yang terluka.” [Muslim, ash-Shahiih (no. 181), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Ghazwun Nisaa’ ma’ar Rijaal”]Imam Nawawi menjelaskan hadits di atas, tentang kebolehan wanita memberikan pengobatan hanya kepada mahram dan suami mereka saja. Adapun untuk orang lain, pengobatan dilakukan dengan tidak menyentuh kulit, kecuali pada bagian yang dibutuhkan saja.
  • Di bidang ketentaraan dan kepolisian, hanya dibatasi pada pekerjaan yang dikerjakan oleh kaum wanita, seperti memenjarakan wanita, petugas penggeledah wanita misalnya di daerah perbatasan dan bandara.
  • Di bidang pengajaran (ta’lim), dibolehkan bagi wanita mengajar wanita dewasa dan remaja putri. Untuk mengajar kaum pria, boleh apabila diperlukan, selama tetap menjaga adab-adab, seperti menggunakan hijab dan menjaga suara.
  • Menenun dan menjahit, tentu ini adalah perkerjaan yang dibolehkan dan sangat sesuai dengan fitrah wanita.
  • Di bidang pertanian, dibolehkan wanita menanam, menyemai benih, membajak tanah, memanen, dsb.
  • Di bidang perniagaan, dibolehkan wanita untuk melakukan jual beli. Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa salah satu tanda kiamat adalah maraknya perniagaan hingga kaum wanita membantu suaminya berdagang . Hadits ini tidaklah mengharamkan aktivitas wanita dalam aktivitas perniagaan.
  • Menyembelih dan memotong daging. Meskipun ada pendapat yang membolehkan pekerjaan ini bagi wanita, namun hakikatnya tidak sesuai dengan tabiat wanita karena membuat anggota tubuhnya tersingkap saat bekerja, seperti lengan, dan kaki.
  • Tata rias kecantikan. Tentu saja hal ini diperbolehkan dengan syarat tidak melakukan hal-hal yang dilarang, seperti menyambung rambut, mengikir gigi, menato badan, mencabut alis, juga dilarang pula melihat aurat wanita yang diharamkan. Dilarang menggunakan benda-benda yang membahayakan tubuh, serta haram menceritakan kecantikan wanita yang diriasnya kepada laki-laki lain, termasuk suami si perias sendiri.
Demikian, semoga bermanfaat. - Hukum Wanita Bekerja Mencari Nafkah - Boleh, Sunnah, atau Haram